Meluruskan
pandangan : salah sasaran BBM
Berkenaan dengan tema Subsidi BBM untuk Siapa: Apa Kata Undang-undang dan Apa Katamu? yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul meluruskan pandangan : salah sasaran BBM ? di www. darwinsaleh.com, saya berpandangan bahwa Tema yang hendak saya kaitkan berkenaan
dengan polemik berupa pro dan kontra subsidi BBM. Setelah saya amati, ternyata
polemik tersebut tercipta akibat ketidaktahuan masyarakat seputar teknis dari
permasalahan yang dipolemikkan, sehingga terjebak ke dalam opini keliru
mengenai subsidi BBM.
Asal-Muasal Salah Sasaran Subsidi BBM
Sumber pembentukan
opini mengenai subsidi BBM salah sasaran sebenarnya berasal dari pernyataan
pemerintah sendiri. Saya sendiri sulit untuk mengklarifikasikan pernyataan
tersebut, karena sumbernya tidak jelas. Baru satu ketika dalam acara Saresehan
Anak Negeri (MetroTv) tanggal 7 Maret 2012, seorang pengamat kebijakan publik,
Revrisond Baswier menjelaskan adanya upaya untuk menggeser paradigma.
Dijelaskan oleh Revrisond, bahwa pernyataan salah subsidi BBM sasaran tersebut
berasal dari hasil riset Bank Dunia (World Bank) yang ditampilkan ke dalam
iklan layanan masyarakat di tahun 2005. Karena merasa ada kejanggalan dari
hasil riset tersebut, Revrisond kemudian melakukan klarifikasi ilmiah yang
disampaikan secara terbuka. Tidak lama kemudian, pada iklan layanan masyarakat
berikutnya, kutipan dari Bank Dunia tersebut sudah dihilangkan.
Jika saja hendak
dibentuk pendapat berupa subsidi BBM salah sasaran, maka seharusnya tidak
menitikberatkan pada status ekonomi individu maupun kelompok individu. Misalnya
yang disebut bentuk subsidi salah sasaran seperti pemberian subsidi untuk
kondominium. Disebut salah sasaran, karena hanya segelintir orang tertentu mau
membeli ataupun menyewa kondominium. Ekses dari transaksi kondominium pun
sangat sempit atau tidak banyak menciptakan manfaat positif bagi perekonomian.
Lagipula, tanpa harus diberikan subsidi pun tidak akan merubah ketertarikan
segmen tertentu yang umumnya golongan sangat mampu. Contoh lain bentuk subsidi
salah sasaran seperti subsidi untuk roti. Tidak semua orang di negeri ini yang
terbiasa makan roti sebagai makanan pokok. Ada cukup banyak alternatif konsumsi
karbohidrat yang jauh lebih murah ketimbang roti, serta memiliki kandungan gizi
yang lebih tinggi.
Penyebutan salah
sasaran pada konteks kebijakan subsidi haruslah mempertimbangkan sasarannya
berupa aktivitas konsumsi. Berikut ini parameter yang dipertimbangkan dalam
penerapan subsidi yang saya sadurkan ringkasannya dari pendapat Mankew (2004).
Kapasitas Pengguna
Barang/Jasa
Subsidi diterapkan
berdasarkan pertimbangan banyaknya pengguna barang maupun jasa yang dikonsumsi.
Semakin tinggi penggunanya, maka akan semakin tinggi pula dampak maupun
eksternalitas ekonomi yang diciptakan dari aktivitas konsumsi tersebut.
Dampak Ekonomi dan
Eksternalitas
Pemberian subsidi hendaknya
pula mempertimbangkan besarnya dampak ekonomi maupun eksternalitasnya.
Aktivitas konsumsi yang disubsidi tersebut hendaknya pula harus mampu
menciptakan munculnya aktivitas perekonomian lainnya yang mendukung atau masih
berkaitan dengan aktivitas ekonomi yang disubsidi.
Pandangan kriteria subsidi dari Mankew (2004)
cukup sejalan dengan pendekatan yang digunakan oleh Shin dan Kim (2010) yang
menitikberatkan dampak subsidi tersebut terhadap kinerja perekonomian. Selain
harus bisa menciptakan dampak ekonomi maupun eksternalitas yang positif,
kebijakan subsidi pula harus dapat memberikan manfaat perekonomian berupa
kemampuan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Kinerja perekonomian yang
dimaksudkan dapat pula berupa peningkatan efisiensi produksi dari
komoditi-komoditi yang diberikan subsidi. Powel dan Steinberg (2006)
menambahkan lebih banyak parameter untuk mengidentifikasikan penerapan subsidi
ke dalam aktivitas perekonomian. Misalnya kriteria kemanfaatannya untuk
menopang kesejahteraan individu maupun regional dan beberapa dampak-dampak atas
penerapan subsidi. Di sini akan digunakan pendekatan Mankew (2004) yang
dianggap lebih mudah untuk diklarifikasikan penerapannya untuk kasus subsidi
BBM di Indonesia.
Evaluasi Subsidi Salah Sasaran: Kasus Subsidi BBM
Evaluasi Subsidi Salah Sasaran: Kasus Subsidi BBM
Sekalipun dua kriteria
subsidi dari Mankew (2004) dikatakan telah terpenuhi untuk kasus subsidi BBM di
Indonesia, tetapi belum membentuk kesimpulan akhir terhadap kriteria salah
sasaran ataupun tepat sasaran. Anda tidak bisa begitu saja memberikan
pernyataan salah sasaran ataupun tepat sasaran tanpa didukung suatu evalusi
ataupun kajian yang memadai dan relevan. Dua kriteria dari Mankew (2004)
barulah pada taraf pembentukan fakta atau terpenuhinya asumsi teoritis.
Selanjutnya, dibutuhkan dua elemen ilmiah untuk membentuk kesimpulan utama,
yaitu data dan kajian ilmiah.
Penulis mengakui cukup kesulitan untuk
membentuk kesimpulan akhir, terutama karena lemahnya informasi untuk menghimpun
kajian ataupun studi mengenai subsidi BBM yang memiliki relevansi dengan topik
yang disampaikan. Studi yang dilakukan oleh Agustina, et al (2011) hanya
menyentuh pada aspek kebijakan fiskal dan mekanismenya, bukan pada sisi
makroekonomi. Sementara itu, kajian yang dibutuhkan di sini harus menggunakan
pendekatan makroekonomi maupun mikroekonomi. Di sini pihak penulis mencoba
untuk menggunakan pendekatan tunggal, yaitu dengan memanfaatkan data yang
relevan dengan topik penulisan. Perhatikan data kenegakerjaan di bawah ini.
Tabel di atas merupakan angka tenga kerja usia di atas 15 tahun berdasarkan status pekerjaan utama yang tersebar di seluruh sektor perekonomian. Secara umum, mereka inilah yang paling dominan menikmati langsung subsidi BBM (bensin premium maupun solar), terutama untuk kelompok status pekerjaan utama nomor 2, 4, 5, dan 7. Persentasenya terhadap total jumlah tenaga kerja mencapai diatas 70% setiap tahunnya. Menikmati langsung berarti mengkonsumsi secara langsung untuk transportasi pribadi, digunakan untuk keperluan wirausaha, maupun menikmatinya sebagai sarana transportasi umum (penumpang). Jika diperhatikan, pada tahun 2011 terdapat sekitar 110 juta tenaga kerja dari keseluruhan kelompok yang berarti melampaui separuh dari total jumlah penduduk. Lebih dari 70% yang diperkirakan menikmati langsung subsidi BBM.
Bagi kelompok yang di
atas 70% tadi, subsidi BBM akan berdampak langsung mendukung produktivitas
sebagai tenaga kerja maupun digunakan sebagai usaha. Jika merujuk indikator
versi Kementrian Tenaga Kerja, maka mayoritas yang terdapat pada kelompok di
atas 70% inilah yang memiliki pendapatan kurang dari 4 USD/hari atau kelompok
dengan pendapatan kurang dari Rp 3 juta/bulan. Mereka memiliki kemampuan
ataupun kapasitas perekonomian yang relatif terbatas. Apalagi jika dalam satu
rumahtangga hanya mengandalkan satu sumber pendapatan. Perubahan harga
kebutuhan pokok (termasuk BBM) akan berdampak cukup besar mempengaruhi
kemampuan konsumsi mereka. Dalam pemahaman lain, bahwa subsidi BBM tersebut
dianggap cukup membantu kemampuan mereka untuk mensejahterakan dirinya sendiri.
Bagaimana
dengan dampak ekonomi lainnya?
Jika di antara mereka
yang 70% tadi bekerja untuk orang lain sebagai buruh ataupun karyawan, maka
subsidi BBM akan cukup membantu meringankan permasalahan internal perusahaan
atau pemilik kapital. Pihak perusahaan tidak harus banyak dipusingkan urusan
kesejahteraan karyawan ataupun tuntutan untuk menaikkan upah minimum. Tentu
saja kondisi tersebut akan memperkecil oportunitas biaya, sehingga akan terbuka
kesempatan untuk lebih meningkatkan produktivitas usaha.
Di tahun 2011 dan 2012,
pemerintah selalu mengklaim telah terjadi pertumbuhan jumlah kewirausahaan di
kelompok UKM setiap tahunnya. Pada tahun 2013 ini bahkan pemerintah masih
mengekspos data mengenai trend pertumbuhan pelaku usaha UKM yang dianggap cukup
signifikan memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Pemerintah pula
selalu mengklaim melalui APBN jika penerimaan dari sektor perpajakan senantiasa
meningkat setiap tahun, terutama perpajakan di dalam negeri. Tidak bisa
dipungkiri lagi, apabila fakta ekonomi tersebut menunjukkan apabila pemberian
subsidi BBM dianggap tepat sasaran, sesuai dengan definisi maupun kriterianya.
Perlu diketahui,
apabila komoditas bahan bakar memiliki eksternalitas yang termasuk cukup luas
dalam perekonomian (Coady, et al, 2007). Pemakaian (konsumsi) bahan bakar tidak
bisa dipungkiri lagi menjadi motor penggerak perekonomian maupun
pertumbuhannya. Industri otomotif akan semakin tumbuh dan berkembang yang
kemudian diikuti dengan industri komponen. Belum pula ditambahkan
eksternalitasnya dengan keberadaan kelompok jasa perawatan dan perbaikan. Bisa
dibayangkan dampaknya jika dari eksternalitas semacam ini kemudian dihubungkan
dengan kapasitas penyerapan tenaga kerja. Keberadaan industri otomotif pula
terintegrasi dengan sektor jasa keuangan, seperti perbankan maupun lembaga
pembiayaan (financing). Kelembagaan perbankan saat ini pun telah menyediakan
layanan pembiayaan khusus untuk kepemilikan kendaraan bermotor.
Jika dibandingkan
dengan periode sebelum reformasi tahun 1998, maka perkembangan eksternalitas
dari konsumsi BBM di Indonesia jauh lebih terintegrasi dan semakin melebar.
Tentu saja, akibat semakin meluasnya dampak tersebut mendorong dilakukannya
pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jalan tol, dan jembatan
penyeberangan. Dengan demikian, jika melihat dari data dan fakta, maka
penerapan subsidi BBM untuk kasus perekonomian di Indonesia dianggap telah
sesuai dengan definisi maupun kriteria penerapannya.
Kesimpulan dan Penutup
Kesimpulan dan Penutup
Dengan menggunakan
pendekatan kriteria penerapan subsidi dari pandangan Mankew (2004) dapat
diketahui apabila penerapan subsidi BBM untuk kasus di Indonesia telah memenuhi
dua kriteria pokok, yaitu kriteria kapasitas dan kriteria dampak ekonomi dan
eksternalitasnya. Tentu saja, fakta yang dikemukakan oleh penulis perlu
dilakukan tinjauan ilmiah lebih lanjut untuk mengukur validitas antara data dan
fakta. Dari pendekatan subsidi oleh Powel dan Steinberg (2006) diperoleh suatu
gambaran mengenai elastisitas subsidi BBM terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat. Pada ulasan di atas telah disampaikan apabila kelompok yang menikmati
langsung subsidi BBM secara umum merupakan kelompok yang relatif cukup sensitif
terhadap perubahan atas harga dan inflasi.
Kajian yang dilakukan
oleh Bertrant dan Vanek (1971) mungkin bisa digunakan untuk menjelaskan salah
satu aspek persoalan dalam subsidi, yaitu terletak pada aspek persaingan
perdagangan internasional. Jika menggunakan pendekatan liberalisasi, subsidi
merupakan komponen kebijakan yang dianggap akan mengurangi aspek fairness dalam
persaingan. Subsidi pula dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah ke dalam
perekonomian yang berpotensi akan menciptakan distorsi atas harga (Mankew,
2004). Distorsi harga akibat penerapan subsidi BBM tersebut akan semakin
meluas, karena eksternalitas secara ekonomi dari subsidi BBM itu sendiri cukup
luas. Tentu saja pendekatan ekonomi pasar tidak selalu harus dibenarkan
penerapannya atau dijadikan acuan dalam manajemen perekonomian. Kita bisa
melihat sendiri betapa besarnya intervensi ekonomi yang dilakukan pemerintah
China ke dalam perekonomiannya.
“
Referensi
Agustina, Cut Dian RD., Wolfgang Fengler, and Gunther G. Schulze, 2011, “Indonesia’s Fiscal Policies On Oil and Gas - Options For Reform”, Discussion Paper Series from Department of International Economic Policy (University of Freiburg), No 18.
Bertrand, Trent J. and Jaroslav Vanek, 1971, “The Theory of Tarrifs, Taxes, and Subsidies: Some Aspects of The Second Best”, Journal American Economic Review, Volume 61, Issue 5 (p925-931).
Coady, David, Amine Mati, Taimur Baig, and Joseph Ntamatungiro, 2007, “Domestic Petroleum Product Prices and Subsidies: Recent Developments and Reform Strategies”, IMF Working Papers, No 07/71.
www.darwinsaleh.com